Dalam Webinar #8 - Mengelola Pembelajaran Adaptif, Fleksibel, dan Akomodatif yang diadakan oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan pada 22 Agustus lalu (dapat disimak di sini), penulis menemukan konsep pemikiran yang menarik.

Slide yang dibawakan oleh Ibu Roslina Verauli (Psikolog Klinis Anak) tersebut menerangkan bahwa pembelajaran jarak jauh yang disebabkan pandemi covid-19 saat ini lebih berorientasi pada home based learning, dimana orang tua harus mengakomodir kebutuhan pembelajaran sang anak.   

Ya, untuk menciptakan pembelajaran jarak jauh yang efektif, kuncinya ada pada trio berikut: adaptif, fleksibel dan akomodatif. Ketiganya akan membentuk anak menjadi cerdas berkarakter.

Dan poin ‘akomodatif’ hampir sepenuhnya harus diwujudkan dari rumah, tepatnya dari keluarga sang anak.  

Jika sang anak sering melihat orang tuanya bertengkar di rumah, saling sibuk dengan kegiatan masing-masing (acuh), atau merasa kesepian maka poin akomodatif telah hilang dari proses pembelajaran ini. Sang anak akan mulai kehilangan gairah untuk melanjutkan sekolah, alih-alih meraih sesuatu yang lebih tinggi di bidang akademis.  

Sebaliknya jika orang tua terlibat, hasilnya akan berbeda. Narasi itu dikuatkan  Ibu Roslina Verauli dalam presentasinya. Beliau menerangkan, orang tua yang melibatkan diri dalam pendidikan formal sang anak, akan membuat prestasinya lebih baik, sugestinya akan sekolah juga jauh lebih positif serta presentasi kehadirannya di kelas akan tinggi.

The power of family dalam proses ini sangat penting.  Bahkan sebelum  pandemi covid-19 saja, orang tua sudah harus menjadi pengakomodir pendidikan bagi anak-anaknya. Namun pembedanya saat ini adalah hanyalah keterlibatan yang harus lebih dalam.  

Ya, mari kita ambil contoh.

Umumnya, orang tua akan memasukkan sang anak ke sekolah yang sesuai visi mereka.

Jika orang tua ingin anaknya lebih mendalami spirit religius, maka visi itu diterjemahkan ke sekolah yang memiliki kereligiusan tinggi seperti pesantren, MAN, SMAK dan lainnya.

Jika orang tua memiliki visi mendidik anak menjadi pemikir yang out the box, visi itu diterjemahkan ke sekolah dengan tingkat diferensiasi sosial yang tinggi seperti masuk ke sekolah bertaraf internasional, atau sekolah negeri/swasta pada umumnya yang relevan dengan keberagaman.

Jika orang tua memiliki visi melatih kemampuan vokasional sang anak sedari awal, maka visi itu diterjemahkan ke sekolah yang berorientasi pada pelatihan praktik, seperti Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).

Tentu pemilihan sekolah sedikit banyaknya dipengaruhi dari penerjemahan visi orang tua pada masa depan sang anak. Dan sistem sekolah tersebutlah yang akan membentuk sang anak. Mulai dari bagaimana budaya di sekolah tersebut, lingkaran sosialnya, hingga pengaruh proses belajar mengajarnya di kelas.

Dan kini, di situasi pandemi covid-19, sekolah itu sudah berada di rumah, sistem itu dibangun dari rumah, budaya itu dibentuk dari rumah, dan lingkaran sosial itu adalah apa yang sehari-hari didengar anak dari rumah.

Dan orang tua adalah kolaborator sekolah formal yang harus mengakomodir kebutuhan tersebut, dan menjadi sekolah alternatif bagi anak-anaknya.  

Inilah tantangan yang kita sedang hadapi.

Semoga saja, Ayah dan Ibu dapat menangkap pesan ini, dan meneruskannya menjadi aksi baik untuk melahirkan generasi cerdas berkarakter berikutnya bagi Indonesia lewat menjadi pengakomodir pendidikan yang pro bagi sang anak.  

Kita bisa, kita pasti bisa!

Semangat ya, Ayah dan Ibu.